Rabu, 11 Maret 2015

Tia Nurjannah Dalam Sudut Pandang Seorang Kakak Lelaki III: Jengkol



Dinamika kehidupan seorang kakak-adik tentu sangatlah wajar dalam perjalanan hidup yang dilewati. Kebahagiaan kami bukan berlandaskan kepada jalan pemikiran yang sama, intensitas kerukunan yang terjaga atau pun dalam persamaan keinginan semata. Tentu sangat manusiawi jika saya dan adik tercinta itu bagaikan “Tom and Jerry”, tak pernah akur, selalu membuat onar, ribut karena bertengkar, dan bersaing “keras” satu sama lain. Dalam hal tertentu kami terbiasa kompak meskipun secara tidak disengaja. Justru keceriaan kami lahir setelah melalui serangkaian “keributan dan perbedaan yang ada.

Kami berbeda dalam banyak hal, tapi tak semuanya menjadikan hal yang majemuk. Dalam beberapa kondisi kami dibuat menjadi suatu yang sama. Ya, tentu pasti ada hal yang sama yang kita sukai. Yang kita lakukan. Ini bukan sebagai pencitraan semata, melainkan memang fakta hidup. Dan itulah yang kami sebut kebahagiaan yang sebenarnya. Kami selalu bersyukur untuk itu.

Memasak adalah salah satu pekerjaan yang biasa saya lakukan, baik sekedar untuk diri sendiri atau pun untuk semua anggota keluarga yang ada di rumah. Dia yang terlihat tomboi memang tampak selalu malas jika disuruh untuk mencuci piring dan sejenisnya. Tapi tidak, saat saya menyuruh dia berbagi tugas dalam memasak satu hal yang sangat favorit. Dia selalu bertugas mengiris jengkol dan menghaluskan bumbu jengkol tersebut, sedangkan saya menggoreng jengkol kemudian menggoreng bumbu untuk masakan favorit itu. Ya, kami sebut masakan itu “Jengkol Bumbu Bali”. Masakan itu memang selalu dibuat sangat pedas sesuai selera kami, saya dan adik terkasih. Seperti biasa dia itu bawel, selalu banyak bicara ketika saya sedang memasak. Tidak bisa dipungkiri kami selalu berebut makanan untuk kloter kedua, dan yang membuat kami seolah menjadi musuh. Kadang menjadi sebuah penyesalan ketika saya membuat dia menangis atau kesal karena ulah saya yang tidak pernah mau mengalah soal masakan dengan adik saya. Tentu saja perbuatan kami selalu mendapat marah dari seorang mamah kami yang tercinta. Tapi kami tetap saja mengulangi kegiatan rutin memasak bersama, meski sudah pasti ada pertengkaran di setiap ujung cerita.

Saat ini, setelah lepas 11 bulan tanpa adik di sisi saya, seorang kakak ini tidak lagi mendapatkan kenikmatan saat makan masakan favorit kami. Jujur saya harus akui banyak sekali kebahagian yang tidak bisa saya temui tanpa dia. Saat saya mendapatkan sesuatu yang sangat disukai oleh dia tentu hati ini terasa perih bahkan kadang tidak terasa air mata sampai menetes karena ingin memberikan hal tersebut kepada adik tercinta, tapi sayang kenyataannya memang dia tidak lagi di sisi saya. Saya hanya bisa menyendiri untuk menyembunyikan rasa kesal dan sedih ini.

Harus saya ulangi, hal yang membuat kami kompak dan bahagia bukan sesuatu hal yang besar ataupun sulit. Hanya sebuah masakan dari bahan yang banyak orang tidak menyukainya justru membuat kami menjadi pasangan kakak adik yang erat. Ya, itu hanya masakan dari berbahan utama jengkol. Mungkin banyak orang yang tidak percaya itu. Tapi itu dasar untuk kami dalam menjalin kerja sama dan menjaga kesatuan hubungan yang harmonis.

Sangat sederhana, tidak seperti hubungan dalam kehidupan lainnya kami memang terasa sangat rumit dan bahkan “mencekam”. Untuk yang kami sebut jengkol, saya ucapkan terima kasih. Dia yang bahagia di sana pasti memberi sebuah senyuman untuk tulisan sederhana ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masam

Banyak hal terucap meski masih banyak tanya Ibarat kata bermakna yang kosong Terjadi banyak persinggahan dalam berfikir Berucap menjadi kelu...