Dinamika kehidupan seorang kakak-adik tentu sangatlah wajar
dalam perjalanan hidup yang dilewati. Kebahagiaan kami bukan berlandaskan
kepada jalan pemikiran yang sama, intensitas kerukunan yang terjaga atau pun
dalam persamaan keinginan semata. Tentu sangat manusiawi jika saya dan adik
tercinta itu bagaikan “Tom and Jerry”, tak pernah akur, selalu membuat onar,
ribut karena bertengkar, dan bersaing “keras” satu sama lain. Dalam hal
tertentu kami terbiasa kompak meskipun secara tidak disengaja. Justru keceriaan
kami lahir setelah melalui serangkaian “keributan dan perbedaan yang ada.
Kami berbeda dalam banyak hal, tapi tak semuanya menjadikan
hal yang majemuk. Dalam beberapa kondisi kami dibuat menjadi suatu yang sama.
Ya, tentu pasti ada hal yang sama yang kita sukai. Yang kita lakukan. Ini bukan
sebagai pencitraan semata, melainkan memang fakta hidup. Dan itulah yang kami
sebut kebahagiaan yang sebenarnya. Kami selalu bersyukur untuk itu.
Memasak adalah salah satu pekerjaan yang biasa saya lakukan,
baik sekedar untuk diri sendiri atau pun untuk semua anggota keluarga yang ada
di rumah. Dia yang terlihat tomboi memang tampak selalu malas jika disuruh
untuk mencuci piring dan sejenisnya. Tapi tidak, saat saya menyuruh dia berbagi
tugas dalam memasak satu hal yang sangat favorit. Dia selalu bertugas mengiris
jengkol dan menghaluskan bumbu jengkol tersebut, sedangkan saya menggoreng
jengkol kemudian menggoreng bumbu untuk masakan favorit itu. Ya, kami sebut
masakan itu “Jengkol Bumbu Bali”. Masakan itu memang selalu dibuat sangat pedas
sesuai selera kami, saya dan adik terkasih. Seperti biasa dia itu bawel, selalu
banyak bicara ketika saya sedang memasak. Tidak bisa dipungkiri kami selalu
berebut makanan untuk kloter kedua, dan yang membuat kami seolah menjadi musuh.
Kadang menjadi sebuah penyesalan ketika saya membuat dia menangis atau kesal
karena ulah saya yang tidak pernah mau mengalah soal masakan dengan adik saya.
Tentu saja perbuatan kami selalu mendapat marah dari seorang mamah kami yang
tercinta. Tapi kami tetap saja mengulangi kegiatan rutin memasak bersama, meski
sudah pasti ada pertengkaran di setiap ujung cerita.
Saat ini, setelah lepas 11 bulan tanpa adik di sisi saya, seorang
kakak ini tidak lagi mendapatkan kenikmatan saat makan masakan favorit kami. Jujur
saya harus akui banyak sekali kebahagian yang tidak bisa saya temui tanpa dia.
Saat saya mendapatkan sesuatu yang sangat disukai oleh dia tentu hati ini
terasa perih bahkan kadang tidak terasa air mata sampai menetes karena ingin
memberikan hal tersebut kepada adik tercinta, tapi sayang kenyataannya memang
dia tidak lagi di sisi saya. Saya hanya bisa menyendiri untuk menyembunyikan
rasa kesal dan sedih ini.
Harus saya ulangi, hal yang membuat kami kompak dan bahagia
bukan sesuatu hal yang besar ataupun sulit. Hanya sebuah masakan dari bahan
yang banyak orang tidak menyukainya justru membuat kami menjadi pasangan kakak
adik yang erat. Ya, itu hanya masakan dari berbahan utama jengkol. Mungkin banyak
orang yang tidak percaya itu. Tapi itu dasar untuk kami dalam menjalin kerja
sama dan menjaga kesatuan hubungan yang harmonis.
Sangat sederhana, tidak seperti hubungan dalam kehidupan
lainnya kami memang terasa sangat rumit dan bahkan “mencekam”. Untuk yang kami
sebut jengkol, saya ucapkan terima kasih. Dia yang bahagia di sana pasti
memberi sebuah senyuman untuk tulisan sederhana ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar