Senin, 09 Maret 2015

Tia Nurjannah Dalam Sudut Pandang Seorang Kakak Lelakinya

Bismillah

Saya Heri Heryanto Hidayat, seorang anak laki-laki yang merupakan anak kedua dari pasangan seorang ayah dan ibu pekerja keras. Mereka seorang pasangan orang tua yang telah melampaui batasan dari pandangan mata orang-orang disekitarnya. Bagaimana mereka tidak pernah lelah dan mengeluh di setiap jalan yang dilaluinya. Sungguh luar biasa. Ibarat modal nekat ingin berlian, mereka melakukan banyak usaha dan kebaikan untuk mendapatkannya. tapi bukan ini yang akan saya ceritakan.

Hari itu Kamis tanggal 5 November 1998, saya masih duduk di kelas II caturwulan 2. Pagi itu sangat cerah, saya belum beranjak pergi menuju sekolah kesayangan, tampak Mamah saya yang sedang hamil tua sedang merasakan kesakitan akan melahirkan. Tidak berapa lama setelah ayah berangkat menjemput Ibu Bidan, Mamah saya pun melahirkan seorang bayi perempuan yang tak lain adalah anak ketiga beliau, seorang adik perempuan kami tercinta. Saya hanya seorang anak kecil, melihat kejadian seperti itu hanya bisa bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Anak yang dilahirka itu sangat lucu, cantik, dan memiliki rambut yang pirang. Suara tangisan yang pertama  itu membuat saya bingung, dan memutuskan untuk saya berangkat ke sekolah. Dan saya pun meninggalkan sang adik di hari pertama kita bertemu di alam dunia ini. Ketika berada di sekolah, masih sangat penasaran dengan bayi mungil itu. Yang dirasakan hanya ingin cepat pulang ke rumah. Untuk saat itu saya tidak punya definisi tentang hal yang saya rasakan. Untuk saat ini hal semacam itu bisa katakan sebagai rindu adik yang pertama.

Bayi perempuan itu kemudian memiliki nama yang indah, si mungil itu bernama Tia Nurjannah. Nama yang dibuat dengan penuh do'a dan harapan orang-orang bahwa kelak dia akan menjadi seorang wanita yang memiliki cahaya syurga, dimana cahaya syurga itu akan menjadi sebuah ilham untuk setiap perbuatan yang dia lakukan dan pada akhirnya tidak hanya memiliki cahaya syurga namun kelak suatu saat pasti menjadi penghuni syurga yang haqiqi. Ya, namanya Tia Nurjannah. Saya memanggilnya ade, De Tia. Si Gadis Pirang itu memang lucu.

Detik berganti detik, setiap waktu bergulir semakin bertambah. Dia pun tumbuh semakin besar, menjadi seorang anak perempuan yang pintar (dan manja). Setiap hal apapun, dia selalu ingin tahu tentang itu. Sebagai seorang kakak tentu kadang jengkel jika "apa-apa" ditanya. Dengan sifat keingintahuannya tersebut tentu menjadikan sebuah bekal jika kelak dia akan banyak mengetahui tentang segala sesuatu. Pengalaman yang akan menjadikannya sebagai seorang cerdas dan mampu berguna untuk siapapun yang berada disekitarnya.

Dia sangat periang, akrab dengan siapa saja. Tentu menjadikannya memiliki pangalaman sosial yang baik. Selayang pandang mata seorang kakak, dia sangat dekat dengan teman sebayanya baik teman sepermainan ataupun teman sekolahnya. Banyak harapan yang dipertaruhkan orang-orang terhadap dia. Dan mungkin, sebagai seorang kakak pun memiliki harapan untuk dia agar bisa menjadi lebih baik, lebih hebat dibanding semua kakaknya. Dan saya berharap begitu. Selalu begitu.

Dia selalu megatakan ingin seperti kakak lelakinya, ingin aktif di berbagai organisasi. dan mampu menjalani kesibukan dengan baik. Dan apapun yang saya pilih dalam hal "kesukaan" atau apapaun, dia pasti ikut menyukainya. Obsesinya pun ingin seperti saya. Hari ini saya harus akui bahwa pengagum sejati saya yang sebaik-baiknya dan sebenarnya adalah adik saya sendiri. Dia begitu sangat mengerti apa yang terjadi pada saya, ketika saya pernah ke jurang paling bawah di kehidupan. Dia selalu bertanya dengan setiap kepolosannya untuk bisa berdiskusi atau semisal dialog ringan dengan kakak lelakinya itu. Meski terkadang kakak lelakinya itu seorang yang cuek terhadap adiknya. Dan kadang dengan terpaksa harus meladeni dia "Si Bawel" di setiap kesempatan sempit yang ada.

Tidak banyak waktu yang istimewa yang bisa diberikan seorang kakak terhadap adiknya. Kami terkenal seperti "Tom And Jerry". Sebenarnya itulah hal yang ideal bagi seorang kakak-adik dalam sudut pandang kehidupan tertentu. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, saya seorang kakak yang cuek tehdapap adiknya. Hal besar yang mungkin saya sesali saat ini salah satunya adalah, saya beserta ayah dan ibu melupakan ulang tahunnya di tahun 2013 karena sibuk mengurus persiapan acara nikahan putrinya bibi saya. Tanggal 5 November 2013 yakni ulang tahun yang terakhir, saya pun tidak pernah menyangka itu akan menjadi hal penting yang terlewatkan saat kami lupa mengucapkan "Selamat Ulang Tahun, Tia". Penyesalan tinggal penyesalan, tidak pernah berharap bahwa "Hari Jadinya" itu merupakan hari jadi terakhir. Kami pun menyadari kekeliruan kami, kami memberi ucapan selang beberapa hari setelah tanggal 5 November. Kami tahu, kami terlambat memberi ucapan. Dan akhirnya saya pun tahu jika dia menangis pada hari jadinya tersebut, sedih karena tidak mendapat ucapan dari kakak dan orang tuanya.

Ini adalah bagian dimana sebenarnya saya tidak pernah ingin membuka lembaran pahit itu (lagi). Pertengahan Februari 2014, membuat saya terkejut sepanjang hidup saya. Sepengetahuan saya, dia tidak memiliki penyakit apapun. Saya berbicara begitu karena melihat hasil cek kesehatan beberapa bulan sebelumnya. Adik saya divonis memiliki "penyakit" yang Anemia Hemolitik Autoimun. Kami sangat pasrah, kami sangat sedih. Tapi kami masih percaya Alloh, kami serahkan kepada-Nya dengan ikhtiar, usaha, dan pengorbanan sebisa kami. Seminggu diopname di Rumah Sakit, alhamdulillah mengalami perbaikan. Dia tampak sehat dan lebih baik. Seminggu setelah keluar dari RS dia libur di rumah untuk pemulihan kesehatannya. Kami akhirnya bisa bernafas dengan lega (sementara).

Seperti biasanya, dia kembali memulai aktivitas di sekolahnya karena sedang mengikuti ujian praktik untuk kelulusan. Karena saaat itu dia sedang mengikuti jenjang pendidikan di kelas 3 MTs. Dia sangat antusias menyambut hari-harinya kembali ke sekolah, bertemu dengan semua teman dan guru tercinta. Dia seorang yang tidak sabaran ketika dihadapkan dengan kehidupan sekolahnya. Bahkan dia selalu bercerita kepada saya tentang aktivitas di sekolahnya. Setelah keluar dari rumah sakit, dia selalu antar pulang-pergi ke sekolahnya, entah itu oleh saya maupun ayah. Karena memang kami tidak ingin melewatkan waktu yang berkualitas bersamanya. Hari itu, terhitung tiga minggu setelah dia bersekolah apa yang dia rasakan (sakit) kembali terulang. Dengan sigap keluarga kembali membawanya ke RS. DI RSUD Ciamis dia bertahan 4 hari. Waktu dari pagi hingga sore saya berikan untuk adik saya, saya selalu teringat saat itu selalu menggendong dia saat dia akan toilet. tubuhnya sangat berat karena memang adik saya termasuk anak yang subur, berbeda dengan saya. Karena keadaannya semakin memburuk pihak RS tersebut merekomendasikan kami untuk membawanya ke RSHS Bandung, karena pihak RSUD Ciamis tidak bisa menanganinya.

Hari itu jum'at, tanggal 4 April 2014 adik saya dibawa pergi ke RSHS. Dengan penuh rasa kecewa dan sedih saya tidak bisa mendampingi dia karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan oleh saya. Penyesalam seperti itu selalu saya rasakan sampai detik ini. Saya selalu menganggap diri saya yang bodoh karena tidak bisa berada disamping dia dalam detik-detik terakhir hidupnya. Karena di sisi lain saya harus menunaikan tanggung jawab saya sebagai seorang "pemimpin" di lingkungan akademik tempat saya menimba ilmu.

Hari minggu (6 April 2014) saat semua urusan saya beres, saya telah bertekad untuk "melihat" adik saya di Bandung. Saat itu saya memaksa akan berangkat, namun dilarang oleh ayah karena kondisi kesehatan saya juga sedang buruk. Beliau menyuruh saya pergi ke sana dengan keadaan yang sehat (fit). dan saya pun mengurungkan niat saya un tuk berangkat saat itu.

Hari senin dini hari menjelang subuh (7 April 2014), saya akan berangkat ke RSHS Bandung bersama keluarga lainnya, namun sesaat sebelum kami berangkat kami mendapat informasi bahwa kami tidak perlu pergi ke sana. Saya tidak menyangka "larangan pergi" itu merupakan kabar yang buruk, kabar yang tidak pernah kami ingin dengar. Ya, pukul 02.30 WIB adik kesayangan saya telah meninggal dunia, telah meninggalkan dunia yang fana, telah menghembuskan nafas terakhir yang tidak pernah saya saksikan. Dengan pikiran yang tidak menentu, dan mendapat kabar tersebut saya tidak bisa berkata-kata dan menahan apa yang saya rasakan. Selamat tinggal adik, mohon maafkan segala hilaf yang pernah adinda rasakan oleh kami, khususnya oleh kakakmu ini.Kami benar-benar sangat menyayangi adik, kami selalu rindu dan mendo'akanmu adik. Adik kami tercinta Tia Nurjannah

*
Yaa Alloh, ampunilah segala dosa adik hamba
Yaa Alloh, jauhkanlah adik hamba dari siksa alam kubur
Yaa Alloh, berikanlah cahayaMu di dalam kubur adik hamba

3 komentar:

Masam

Banyak hal terucap meski masih banyak tanya Ibarat kata bermakna yang kosong Terjadi banyak persinggahan dalam berfikir Berucap menjadi kelu...